Judul tulisan ini, termotivasi utk membuat perenungan bg sesama OAP di tanah yg dijuluki sbgai “Pulau Surga…”. Sbgai akibat dr sesama OAP yg kini sdg hidup di zaman produk undang2 Otsus Papua hingga masa kini. Terlebih, ketika hadir dan berkmbang nya DOB di seluruh Tanah Papua maka motto ttg “menjadi TUAN dan KAYA di negri sendiri menjadi sebuah nilai filosofi yg prinsipil dlm pandangan politik msg2 sub etnik di tanah ini. Yang dampaknya merusak nilai2 murni etnonasionalisme Papua yg sesungguhnya”. Masing2 sub etnic scra ekstrim, khususnya di Wilayah III Doberai mengklaim dirinya sbgai “sub etnic kelas satu dan lbh utama dari sesama sub etnic OAP lainnya, khusus dlm sektor pembangunan politik di negri ini. Terindikasi benar bhw sub etnic yang lain, terutama sub etnic yg berasal dari Wilayah Adat Saireri itu “tidak memiliki hak politik yang setara di antara sesama OAP di Wilayah III Doberai”. Saya mmg tdk tahu persis kebenaran prinsip konstitusionalnya, “ap kh mmg benar diatur obyektif dlm undang2 otsus Papua hal tsb atw kh krn mmg dikembangkan maknanya scra politis dr sudut pandang msg2 sub etnic lokal di masa kini ?”. Dan nampaknya kesan politis tsb lbh tendensif dipredikasikan utk masyarakat Suku Biak yang adalah penduduk resmi di seantero Wilayah Adat III Doberai ini. Lagi2 Suku Biak yg slalu menjadi obyek pelampiasan emosi sentimen politik di wilayah ini oleh sesama OAP. Smntra, suku2 atw sub etnic yg lain di luar Suku Biak tdk dituding sbgai “suku2 penghalang kepentingan sub etnic lokal, antara lain ” Moi, Maybrat, Tehit, Imeko dsbx”. Mungkin, ya bhw di mata sub etnic OAP lainnya di Wilayah Adat III Doberai ini, “Suku Biak” adalah satu2nya suku yg menjadi “duri politik di dlm daging hak dan kepentingan politik sub etnic lokal di Wilayah Adat III Doberai, ini”. Mengapa ya ??
* Saya, sebenarnya tdk merasa resah atw merasa minder dgn stigma atw predikat klasik tsb bhw Suku Biak adalah “suku pendatang bhkan suku penghalang di Tanah Moi atw daerah2 teritori lainnya di Wilayah Adat III Doberai”. Karna pandangan politis dgn predikat minusnya itu adalah ‘sebuah sentimen politis yang kerdil”. Akibat dari wawasan SDM yg mirip “katak dlm tempurung”. Sehingga, tdk memahami benar dan kontekstualistik “konsep etnonasionalisme Papua dlm bingkai Otsus Papua yg konstruktif di NKRI”. Ada2 saja statement kontraversi dan provokatif “devite et etnonasionalisme Papua” trhadap Suku Biak scara terpisah dari suku2 lain, dari Sabang hingga Merauke. Tanpa melihat scra adil, jujur dan obyektif bhw Suku Biak adalah salah satu suku yg sdh tercatat dlm sejarah Gereja, yang sudah merupakan “bagian dlm daftar Rencana Tuhan di Tanah Papua”. Mengapa hrs disangkali Amat Tuhan itu ?
* Saya sdh membaca dan menyimak statement politis amatir dan kerdil dari ” sobat Amus Yanto Ijie asal sub etnic Maybrat itu”. Bhw sdr ku “Paul Finsen Mayor” bukanlah OAP di Wilayah Adat III Doberai yg memiliki hak politik yg setara dgn sesama OAP di wilayah tsb. Alasannya, sederhana saja yaitu ” Paul F. Mayor berasal dari Wilayah Saireri – bukan dari kalangan sub etnic Wilayah III Doberai”. Tapi, mnrt saya pendapat tsb dan pandangannya itu ” bisa benar atw bisa salah ….”. Tergantung prinsip dan amanat undang2 Otsus Papua “berkata apa…”. Mungkin kh itu “suatu nilai politisasi terpaksa ?”. Belum jelas prinsip esensialnya !! Selain itu, si Yanto berkata scra diplomatis bhw “konteksnya bukan lagi Propinsi Papua Barat…”. Kini,adalah “Propinsi Papua Barat Daya”. Paul F. Mayor bukanlah “pejuang”. Saya setuju statement tsb. Itu berarti juga bhw “Suku Biak tdk pernah berjuang ap lagi berkorban tenaga dan biaya operasional”. Cumang saya ingatkan buat sobat ku Amus Yanto Ijie yaitu ” JANGAN SOK ANCAM2 terhadap PAUL F. MAYOR.. yang adalah “profile dan figur Suku Biak di tanah rantau dlm Rencana & Janji Tuhan”. Katanya, ” mau dipolisikan dan atw mau bertindak dlm konteks hukum rimba”. Sanggup kh melakukan sisi2 tsb ??
* Dalam pertimbangan dan pendapat saya bhw “cemburu, iri hati bhkan membenci Suku Biak adalah membantah konsep Rencana dan Janji Tuhan di Tanah Papua”. Ingat dan renungkan baik2 … “bhw eksistensi dan jejak pengabdian dan pengorbanan Suku Biak di Wilayah Adat III Doberai seluruh pelosoknya bukan baru berkisar 50 – 100 tahun saja. Kira2 ada kah di antara sesama OAP yg kini hidup di Wilayah Sorong Raya khssx melebihi masa hidup pengabdian dan pengorbanan Suku Biak di segala sektor pembangunan untuk negri ini ? Mnrt versi ssya, seyogianya “kita sebenarnya tdk perlu menghitung-hitung berapa banyak jasa setiap suku di tanah ini jika kita merujuk dari konsep KASIH trhadap sesama manusia…”. Tapi, yg pasti bhw Suku Biak mmg adalah juga sdr di dlm Tuhan – sesama OAP. Bukan suku pendatang alias amber yang menumpang dan memberi beban serta menjadi “Suku Liar dan biadab di Wilayah Adat III Doberai”.