Beranda Lintas Papua Kisruh Hasil Seleksi DPRP, Undang-Undang Otsus Telah Diperdagangkan

Kisruh Hasil Seleksi DPRP, Undang-Undang Otsus Telah Diperdagangkan

54
0
BERBAGI

Kota Sorong, mediabetewnews.com – Hasil seleksi calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua Barat Daya (DPRBD) dari mekanisme pengangkatan yang dikeluarkan oleh Panitia Seleksi menimbulkan sejumlah permasalahan.

Masyarakat adat dari DAS Maya Raja Ampat, Moi Klabra hingga Binasket di Tanah Papua melayangkan protes dan menolak hasil seleksi calon anggota DPRBD yang telah dikeluarkan Pansel.

Kepala Biro Adat DAS Maya Raja Ampat, Isak Arempele menyebut bahwa Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) telah diperdagangkan. “Gubernur dan Menteri Dalam Negeri harus memahami secara baik tentang UU Otsus sebab itu merupakan payung hukum bagi Orang Asli Papua (OAP),” kata Isak Arempele di Sorong, Jumat, 28 Februari 2025.

Isak Arempele mengingatkan bahwa hak kultur tidak bisa diberikan kepada siapapun. Ibarat kata saya punya kebun kemudian tanam pisang lalu orang lain datang jual.

“Itu tidak diperbolehkan karena hak kultur itu hanya milik saya bukan siapa-siapa,” ucapnya.

Dia menambahkan, dari dulu hanya ada SorongĀ  dan Raja Ampat. Tentu hak kulturnya pun Sorong-Raja Ampat yang ditandai dengan tapal batas. “Hak kami di DPRBD telah diambil oleh dua orang dari Saireri. Jika sudah demikian, jangan jual UU Otsus ke Jakarta, Presiden dan Menteri Dalam Negeri,” tegasnya.

Isak Arempele mendesak pemprov PBD untuk membatalkan hasil seleksi calon anggota DPRBD. “Kami tidak mau diwakilkan sebab kami punya kuktur. Jadi, harus ada ketegasan di pemprov PBD,” tegasnya.

Menyambung dari pernyataan Isak Arempele, Kepala Binasket di Tanah Papua, Adrianus Maga menyampaikan, soal adat di Papua Barat Daya, yang namanya gubernur harus paham tentang adat yang ada di lima kabupaten dan satu kota.

Dalam mengambil keputusan, lanjutnya, seorang gubernur harus hati-hati sebab provinsi ini sangat kental dengan masalah adat.

Adrianus mencontohkan, keputusan yang dikeluarkan oleh pansel. Tidak heran jika apa yang telah dihasilkan oleh pansel itu ditolak masyarakat.

“Masyarakat demo menolak hasil seleksi calon anggota DPRPBD,” ucapnya.

Adrianus menekankan, satu kursi DPRBD tidak boleh di monooli dua orang atau satu keret. Karena dari Imekko sudah mendapat jatah di DPRPB maka satu kursi DPEBD harus diberikan kepada suku Tehit.

“Yang dilakukan pansel sudah salah maka hasil yang dikeluarkan pun harus gugur dengan sendirinya,” ujarnya.

Adrianus melihat bahwa mereka yang sudah pernah menjabat anggota DPR Otsus selama lima tahun di Papua Barat tak boleh lagi dipilih untuk menjadi anggota DPRPBD.

“Tidak boleh, pansel harus melihat hal tersebut secara baik. Akan menimbulkan kecemburuan, ketidakpuasan serta kesenjangan,” tegasnya.

Dia berpesan kepada gubernur yang baru untuk mempertimbangkan hasil seleksi dari pansel.

” Ini suara rakyat, sudah seyogyanya gubernur memerhatikan aspirasi rakyatnya,” kata Adrianus.

Ketua Binasket di Tanah Papua itu berujar bahwa hanya satu anak asli Tehit yang pantas dan layak menjadi anggota DPRPBD, yaitu Yoppy Saflembolo.

“Dia, kata Adrianus, telah mengantongi banyak rekomendasi dari sub suku yang ada di Sorsel,” pungkasnya.

Adrianus bahkan meminta kepada gubernur Papua Barat Daya mendengar permintaan dari kepala-kepala suku yang ada.

“Apa yang dihasilkan pansel seharusnya ditinjau ulang oleh gubernur sebab satu orang anggota DPR otsus tak boleh menjabat selama dua periide,” ujarnya.

Adrianus berharap, gubernur mengevaluasi hasil seleksi calin anggota DPRPBD, bila perlu mengambil kebijakan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat.

Ia menekankan bahwa calon anggota DPR yang diseleksi inikan diusulkan oleh adat bukan anggota DPR melalui jalur politik.

Ketika ada calon yang sebelumnya sudah lima tahun menjabat, tak boleh lagi diusulkan. Ini amanat yang tertuang dalam PP 106 Tahun 2024.

“Lima tahun sudah wakil Imekko mendapat kursi tersebut, sekarang saatnya orang Tehit yang mendapatkan katah kursi DPRPBD,” kata Adrianus.

Adrianus mengingatkan bahwa kedepan gubernur harus lebih aktif melibatkan semua kepala suku maupun lembaga adat sehingga anggaran yang diberikan ke bupati dan wali kota dapat diketahui oleh masyarakat.

Pada kesempatan itu juga Dewan Adat Suku Moi Klabra, Yefta Kolis menyoroti nilai tes dari setiap peserta seleksi yang tidak diumumkan secara terbuka kepada publik.

Yefta Kolis menilai bahwa proses seleksi yang dilakukan pansel sama sekali tidak mengacu pada PP 106 Tahun 2024.

Makanya, hasil tersebut jangan buru-buru disahkan, sebaiknya ditinjaun kembali oleh gubernur.

“Masalah ini dikhawatitkan akan menimbulkan konflik di tanah Moi, Tehit dan Raja Ampat maka selaku dewan adat kami nyatakan hasil seleksi pansel tidak sah,” tegas Yefta Kolis.

Yefta Kolis berpesan, pemerintah provinsi Papua Barat Daya harus memerhatikan anak adat yang direkomendasikan oleh dewan adat.

Hal ini berbanding terbalik dengan hasil yang dikeluarkan pansel, ada yang lolos tetapi tidak mengantongi rekomendasi dewan adat.

Misalnya, kata Yefta Kolis, kabupaten Sorong mengusulkan empat nama lalu hanya dua nama yang lolos administrasi. Sayangnya, ketika diumumkan hasilnya, peserta yang mengantongi rekom dari dewan adat tidak diloloskan.

Yefta tegaskan, di Papua ini kultur masih diatas segalanya, jadi tolong diperhatikan dengan baik.

“Jangan hanya karena masalah uang, rekomendasi adat dilupakan. Mau orang darimana jika masih mendiami Papua pastinya tahu adat,” tegasnya.

Ia juga menegaskan bahwa jabatan anggota DPR melalui jalur adat tidak boleh diintervensi oleh kepentingan apapun termasuk dari pihak keamanan.

“Gubernur dan Mendagri sebaiknya memerhatikan permasalahan yang saat ini terjadi di Papua Barat Daya,” ujar Yefta Kolis.

Yefta Kolis berharap, gubernur PBD segera membatalkan hasik seleksi pansel DPRBD.

“Jika masalahnya telah selesai, silahkan jika mau mengeluarkan SK pelantikan anggota DPRBD dari jalur adat,” pungkasnya.

Sementara itu, Elimas Bosawer, peserta seleksi dari dapeng Maybrat turut mengkritisi mekanisme seleksi calon anggota DPRBD dari jalur adat yang tidak dilakukan secara menyeluruh. Artinya, tahapan rekam jejak tidak dijalankan oleh pansel.

Pertanyaan yang kemudian muncul, rekam jejak itu seperti apa. Kemudian apa yang dilakukan pansel terkait rekam jejak tersebut.

Disamping itu, pansel tidak transparan dalam mengumumkan hasil seleksi, dimana tidak dicantumkannya nilai yang di dapat setiap peserta seleksi.

“Kalau itu diumumkan terbuka, saya pasti akan menerimanya dengan lapang dada,” kata Elimas Bosawer.

Dia meminta agar dilakukannya peninjauan kembali terhadap kinerja dari pansel. Karena di dalam PP 106 Tahun 2024 kan sudah dijelaskan mengenai tahapan seleksi.

Elimas menyebut bahwa masa transisi ini ikut memengaruhi proses administrasi terkait dengan seleksi calon anggota DPRBD.

Ia berharap, gubernur yang baru dapat segera menuntaskan kekisruhan yang terjadi dalam proses seleksi calon anggota DPRPBD. (Edi)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here